Serang – Pria di Ketapang Niatnya mau jadi korban, malah jadi tersangka. Seorang pria berinisial AF (28) di Kabupaten Ketapang harus berurusan dengan hukum, bukan karena dibegal… tapi karena mengaku dibegal padahal bohong belaka.
Kasus ini bermula ketika AF mendatangi kantor polisi dengan wajah lesu, mengaku dirampok oleh dua orang tak dikenal saat melintas di jalan sepi. Menurut pengakuannya, motor dan ponsel miliknya dirampas, lalu ia ditinggal begitu saja di pinggir jalan.

Baca Juga : 5 Personel Polda Banten Gabung Pasukan Perdamaian PBB
Namun penyelidikan polisi mengungkap fakta yang bikin geleng-geleng: tidak ada pembegalan, tidak ada pelaku, dan motor miliknya ternyata digadaikan sendiri.
“Kita curiga sejak awal karena ceritanya berubah-ubah. Saat dicek CCTV dan lokasi kejadian, tidak ada bukti yang mendukung keterangannya,” ujar Kapolres Ketapang, AKBP Tommy Ferdian.
Niat Awalnya Mau Dapat Simpati, Akhirnya Kena Pasal
Setelah diinterogasi lebih lanjut, AF akhirnya mengakui bahwa laporan begal itu sengaja direkayasa. Ia sedang terlilit utang, dan berharap dengan membuat laporan palsu, ia bisa:
-
Menghindari tekanan dari keluarganya
-
Mendapat empati dan bantuan finansial
-
Bahkan sempat berharap viral di media sosial agar ada “penggalangan dana”
Tapi semua harapan itu sirna setelah unit Reskrim mengendus kejanggalan. Hasilnya: AF ditetapkan sebagai tersangka penyebar laporan palsu dan pengaduan tidak benar, dengan ancaman hukuman hingga 1 tahun penjara sesuai Pasal 220 KUHP.
Laporan Palsu = Mengganggu Keadilan dan Menyita Energi Aparat
Kasus seperti ini bukan pertama kali terjadi, tapi tetap memprihatinkan.
Di tengah banyaknya laporan kriminal yang valid dan butuh penanganan cepat, laporan palsu seperti ini justru:
-
Menyita waktu dan sumber daya polisi
-
Menurunkan kepercayaan publik pada pelapor lainnya
-
Membuka celah penyalahgunaan hukum demi kepentingan pribadi
“Kami imbau masyarakat jangan bermain-main dengan laporan pidana. Ini bukan lelucon. Ini soal hukum dan integritas,” tegas pihak Polres.
Motif Laporan Palsu: Antara Utang, Drama, dan Butuh Perhatian
Fenomena laporan palsu ternyata seringkali bukan hanya soal uang. Menurut psikolog forensik, beberapa orang membuat laporan fiktif karena dorongan emosional, antara lain:
-
Stres ekonomi dan tekanan sosial
-
Ingin diperhatikan atau mendapat simpati
-
Mencoba menghindari tanggung jawab pribadi
Namun apa pun alasannya, rekayasa kriminal tetap tidak bisa dibenarkan. Bahkan bisa memicu efek domino, seperti munculnya copycat (peniru) dan penyebaran hoaks berbasis emosi.
Penutup: Jadi Korban Palsu Tak Akan Buat Masalah Hilang
AF mungkin berharap bisa lari dari masalah utang dengan bermain drama sebagai korban kejahatan. Tapi seperti banyak kasus rekayasa lainnya, kebohongan justru menambah masalah baru.
Dalam dunia nyata, tidak semua plot twist berakhir menguntungkan. Dan untuk hukum, jujur adalah jalur tercepat keluar dari kesulitan.

















